KAMIS, 8 NOVEMBER 2012
Oleh : DR (HC) KH MA’RUF AMIN
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat
Di antara wewenang Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah
menetapkan fatwa terkait masalah akidah yang menyangkut kebenaran dan kemurnian
keimanan umat Islam Indonesia (Lihat Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa MUI).
Fatwa MUI tentang masalah akidah dimaksudkan sebagai panduan dan bimbingan
kepada umat tentang status paham keagamaan yang banyak berkembang di
masyarakat. Karena, di antara fungsi fatwa adalah al-bayan atau penjelasan
terhadap suatu masalah syar’i yang ditanyakan oleh umat.
Karena itu, jika ada pertanyaan dari umat, termasuk
masalah akidah, maka MUI sebagai wadah para ulama, zuama, dan cendikiawan
Muslim harus segera menjawabnya. Sebab, ta’khir al-bayan ‘an waqti al-hajah la yajuz
(menunda jawaban -apalagi tidak menjawab- atas pertanyaan umat secara syar’i,
tidak dibolehkan). Termasuk, masalah status aliran keagamaan yang kini banyak
bermunculan dan ditenggarai aliran sesat.
Bagi masyarakat, munculnya aliran kepercayaan itu tentu
saja berbeda-beda. Ada yang pro dan ada pula yang kontra. Dalam kasus tertentu,
aliran kepercayaan ini bisa saja menimbulkan gejolak di masyarakat hingga
memunculkan perilaku anarkistis. Respon itu menunjukkan, aliran itu menyimpang
dan tidak diterima masyarakat, walaupun ada yang membela membabi buta dengan
alasan hak asasi manusia (HAM).
Dengan latar belakang di atas, dapat dipahami bahwa
fatwa, khususnya tentang status aliran keagamaan menyimpang, sangat penting
keberadaannya demi melindungi dan membentengi umat agar tidak terjerumus
mengikuti aliran tersebut dan menjaga ketertiban di masyarakat.
MUI menyadari bahwa menyimpang tidaknya pemahaman
sebuah aliran keagamaan harus dilakukan dengan hati-hati. Selain mendasarkan
diri pada dalil-dalil keagamaan (an-nushus as-syar’iyyah), juga perlu didahului
dengan penelitian yang mendalam terkait fakta di lapangan, para pemimpinnya,
dan latar belakang hingga muncul pemahaman yang menyimpang tersebut. Karena,
tidak bisa menyebutkan sebuah aliran menyimpang hanya oleh perorangan atau
sembarang kelompok yang tidak punya kempetensinya. MUI menyadari, memfatwakan
sebuah aliran menyimpang adalah upaya terakhir setelah upaya lainnya gagal.
MUI dalam Rakernas 2007
menetapkan 10 kriteria sebuah aliran keagamaan dianggap menyimpang
(Lihat hasil Rakernas MUI 2007). Dari 10 kriteria itu, bila salah
satunya dilanggar (apalagi beberapa poin lainnya) maka bisa dikatakan
aliran itu menyimpang.
Kriteria ini dapat dijadikan pedoman atau bahan
pertimbangan aparat pemerintahan yang mempunyai kewenangan untuk memutuskan
apakah sebuah aliran dianggap menyimpang sehingga harus dilarang atau tidak.
Walaupun, pada umumnya pemerintah menyerahkan penentuan itu kepada MUI.
MUI juga mempunyai enam
aturan khusus terkait dengan kewenangan dan wilayah fatwa
ini. Dalam aturan itu jelas bahwa MUI juga punya kewenangan menetapkan
fatwa sepanjang hal itu belum difatwakan MUI pusat. Dan, fatwa
MUI daerah itu juga hendaknya telah dikonsultasikan dengan MUI
pusat.
Apakah fatwa MUI daerah bisa direvisi atau dibatalkan?
Pada hakikatnya, fatwa MUI merupakan hasil ijtihad jama’i (ijtihad kolektif)
yang dilakukan oleh para pengurus MUI, baik pusat atau daerah, khususnya yang
ada di komisi fatwa. Sebagai hasil ijtihad, fatwa tidak bisa
dibatalkan, dianulir, atau direvisi sesuai kaidah al-ijtihadu
la yunqadhu bil-ijtihadi. Hasil ijtihad pun tidak bisa dibatalkan
oleh ijtihad lainnya (Jalaluddin as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazha’ir), sepanjang
illat hukumnya tetap.
Fatwa Syiah
Pascagerakan revolusi Iran akhir 1970-an dan awal
1980-an, para pemuda di sejumlah negara Muslim terpesona dengan gerakan
tersebut. Semangat gerakan revolusi yang dilandasi oleh ruh semangat Syiah ini
kemudian mewabah dan menjangkiti para pemuda di negara Muslim, termasuk
Indonesia.
Pada 1984 MUI
dalam Rakernas, Jumadil Akhir 1404 H/Maret 1984, merekomendasikan tentang
paham Syiah sebagai salah satu paham yang terdapat dalam dunia Islam mempunyai
perbedaan pokok dengan mazhab Sunni (Ahlus Sunnah Wal Jamaah) yang
dianut mayoritas umat Islam Indonesia. Di antaranya, Syiah menolak hadis
yang tidak diriwayatkan oleh Ahlul Bait serta mereka tidak
mengakui kekhalifahan Abu Bakar as-Siddiq, Umar bin Khattab, dan Usman
bin Affan.
Mengingat perbedaan pokok itu, MUI mengimbau kepada
umat Islam Indonesia yang berpaham Ahlus Sunnah wal Jama’ah agar meningkatkan
kewaspadaan terhadap kemungkinan masuknya faham yang didasarkan atas ajaran
Syiah.
Fatwa MUI Jawa Timur
Kasus konflik Sunni-Syiah
yang paling aktual dan dinilai berskala besar adalah kasus di Sampang, Madura.
Tidak bisa dimungkiri bahwa kasus tersebut bermula dari perbedaan paham ini.
Menurut saya, faktor konflik keluarga yang selama ini sengaja
didengungkan tidaklah terlalu signifikan, bahkan cenderung mengaburkan
masalah sesungguhnya.
Karena, masalah
sesungguhnya adalah tidak terimanya penganut Muslim Sunni di Sampang yang
mendengar para sahabat terkemuka (Abu Bakar, Umar, dan Usman)
dicaci maki dan dihina oleh pengikut Syiah. Fakta hukum
tentang masalah itu sudah terbukti di pengadilan.
Umat Islam di Sampang menanyakan hal itu kepada para
ulama dan MUI setempat. MUI Sampang mempertanyakan masalah ini kepada MUI Jawa
Timur (Jatim) dan MUI Jatim juga menyampaikan hal ini kepada MUI pusat. Atas
hal ini, MUI Pusat membentuk tim untuk mengkaji masalah yang terjadi. Karena
tim butuh waktu lama dan umat Islam di Sampang sudah mendesak agar ada jawaban
tentang hal itu, akhirnya diberikanlah kewenangan kepada MUI Sampang untuk merespons
ajaran yang disebarkan di Sampang oleh Tajul Muluk.
Berdasarkan bukti-bukti lapangan,
akhirnya MUI Sampang menetapkan bahwa ajaran Syiah yang diajarkan
Tajul Muluk adalah menyimpang dan ditetapkanlah fatwa sesat terhadap
ajaran tersebut.
Dalam kajian MUI Pusat, fatwa MUI Sampang
tersebut sudah memenuhi aturan dalam menetapkan sebuah fatwa,
sebagaimana diatur dalam internal MUI. Fatwa tersebut juga telah memenuhi
aspek sistematika, yakni melakukan studi lapangan, studi
kitab-kitab rujukan, merujuk fatwa MUI tahun 1984, dan menggunakan
tool kriteria aliran menyimpang, sebagaimana hasil keputusan Rakernas
MUI tahun 2007.
Rupanya, kasus seperti di Sampang juga dihadapi MUI
Kabupaten/kota di Jawa Timur. Ajaran yang disampaikan tidak jauh beda dengan
ajaran Tajul Muluk di Sampang. Beberapa MUI di Jawa Timur juga mengeluarkan
fatwa serupa, yakni menetapkan Syiah yang diajarkan di daerah mereka adalah
ajaran sesat.
Setelah melakukan serangkaian penelitian yang mendalam
dan berkonsultasi dengan MUI Pusat, MUI Jatim mengukuhkan fatwa serupa.
Mencermati hal itu, penulis menyimpulkan, bahwa Fatwa MUI Jawa Timur tentang
Syiah sudah pada tempatnya dan sesuai aturan.
Wallahu a’lam.
0 comments:
Post a Comment