Para ulama adalah pewaris para nabi sebagaimana sabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, “inna al-‘ulama waratsatul ‘anbiya”
(HR Abu Daud), dan para nabi itu adalah, “(yaitu) orang-orang yang menyampaikan
risalah-risalah Allah, mereka takut kepada-Nya dan tidak merasa takut kepada
siapa pun selain kepada Allah, Dan, cukuplah Allah sebagai pembuat
perhitungan.” (al-Ahzab : 39)
Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang merupakan wadah
musyawarah para ulama, zuama, dan cendikiawan Muslim serta menjadi pengayom
bagi seluruh Muslim Indonesia adalah lembaga paling berkompeten dalam menjawab
dan memecahkan setiap masalah sosial keagamaan yang senantiasa timbul dan
dihadapi masyarakat. MUI juga telah mendapat kepercayaan penuh, baik dari
masyarakat maupun dari pemerintah.
Berikut ini adalah kesimpulan dari pandangan dan
sikap para ulama Indonesia yang terwadahi dalam Majelis Ulama
Indonesia (MUI) sejak terbentuknya tahun 1975 hingga saat ini
terkait tentang paham Syi’ah Imamiyah.
1)
|
MUI
sangat peka terhadap penyimpangan agama dan akan segera menghadapinya dengan
serius dan sungguh-sungguh : “Penetapan fatwa (MUI, pen) bersifat responsif,
proaktif, dan antisipatif.” (Himpunan Fatwa MUI : 5) ; “Setiap usaha
pendangkalan agama dan penyalahgunaan dalil-dalil adalah merusak kemurnian
dan kemantapan hidup beragama. Oleh karena itu, MUI bertekad menanganinya
secara serius dan terus-menerus.” (Fatwa MUI, 1 Juni 1980, dalam HF MUI :
42).
|
||
2)
|
Fatwa
MUI berdasarkan dalil-dalil yang jelas untuk mendapatkan kebenaran dan
kemurnian agama. “Fatwa MUI berdasarkan pada Al-Qur’an, Sunnah, (Hadits),
Ijma, dan Qiyas, serta dalil lain yang dianggap muktabar.” (HF MUI : 5), dan
“MUI berwenang menetapkan fatwa mengenai masalah-masalah keagamaan secara
umum, terutama masalah hukum (fiqih) dan masalah aqidah yang menyangkut
kebenaran dan kemurnian keimanan umat Islam Indonesia.” (HF MUI : 7).
|
||
3)
|
Penggunaan
dalil-dalil
yang membawa kepada kebenaran dan kemurnian (agama, pen)
ialah apabila didasarkan atas pemahaman dan pengamalan Ahlus
Sunnah wal Jama’ah dalam pengertian yang luas. Penggunaan dan pemahaman
dalil yang tidak sesuai Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah penyimpangan.
“Dimungkinkannya perbedaan pendapat di kalangan umat Islam harus tidak
diartikan sebagai kebebasan tanpa batas (bila hudud wa bila dhawabith). Perbedaan
yang dapat ditoleransi adalah perbedaan yang berada di
dalam majal al-ikhtilaf (wilayah perbedaan), sedangkan perbedaan
yang berada di luar majal al-ikhtilaf, tidak dikategorikan sebagai
perbedaan, melainkan sebagai penyimpangan, seperti munculnya perbedaan
terhadap masalah-masalah yang sudah jelas pasti (ma’lum min al-din bi
al-dharurah). Majal al-ikhtilaf adalah suatu wilayah pemikiran yang
masih berada dalam koridor ‘ma ana ‘alaihi wa ashabiy’, yaitu paham
keagamaan Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam pengertian luas.” (Ketetapan
Ijtima’ Ulama se-Indonesia ke II, Gontor, 26 Mei 2006. HF MUI : 841).
|
||
4)
|
Dengan
demikian, paham Syi’ah yang menolak hadits yang tidak
diriwayatkan oleh Ahlul Bayt, memandang imam itu maksum
(terbebas dari segala dosa), tidak mengakui ijma tanpa imam, memandang
bahwa menegakkan kepemimpinan (pemerintahan) adalah termasuk rukun
agama, tidak mengakui kekhalifahan Abu Bakr, Umar, dan Usman,
radhiyallahu ‘anhum ajma’in.” Faham Syi’ah : 46) adalah menyimpang dan
harus diwaspadai. “Mengingat perbedaan-perbedaan pokok antara Syi’ah
dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah seperti tersebut di atas, terutama mengenai
perbedaan tentang “Imamah [pemerintahan]”, Majelis Ulama Indonesia
mengimbau kepada umat Islam Indonesia yang berpaham Ahlus Sunnah wal
Jama’ah agar meningkatkan kewaspadaan terhadap kemungkinan masuknya
paham yang didasarkan atas ajaran Syi’ah”. (Rekomendasi Komisi
Fatwa MUI 7 Maret 1984. Lihat HF MUI : 46-47)
|
||
5)
|
MUI
telah menegaskan sikap mayoritas umat Islam Indonesia terhadap Syi’ah dalam
konsideren fatwa MUI tentang nikah mut’ah sebagai berikut.
Menimbang
:
|
||
1.
|
Bahwa
nikah mut’ah akhir-akhir ini mulai banyak dilakukan oleh umat Islam di
Indonesia, terutama di kalangan pemuda dan mahasiswa.
|
||
2.
|
Bahwa
praktik nikah mut’ah tersebut telah menimbulkan keprihatinan, kekhawatiran,
dan keresahan bagi para orang tua, ulama, pendidik, tokoh masyarakat,
dan umat Islam Indonesia pada umumnya, serta dipandang sebagai alat
propaganda paham Syi’ah di Indonesia.
|
||
3.
|
Bahwa
mayoritas umat Islam Indonesia adalah penganut paham Sunni (Ahlus
Sunnah wal Jama’ah) yang tidak mengakui dan menolak paham Syi’ah
secara umum dan ajarannya tentang nikah mut’ah secara khusus (Fatwa
Nikah Mut’ah 25 Oktober 1997, lihat HF MUI : 376).
|
||
6)
|
Keterangan
tentang penyimpangan ajaran Syi’ah dari kemurnian ajaran Islam diperkuat
oleh “Sepuluh Kriteria Aliran Sesat” yang telah ditetapkan dalam
Rakernas MUI pada selasa, 6 November 2007 di Sari Pan Pasifik, Jakarta
sebagai berikut.
|
||
1.
|
Mengingkari salah satu rukun
iman dan rukun Islam.
|
||
2.
|
Meyakini
atau
mengikuti aqidah yang tidak sesuai dengan dalil syar’I (Al-Qur’an
dan Sunnah).
|
||
3.
|
Meyakini turunnya wahyu
sesudah Al-Qur’an.
|
||
4.
|
Mengingkari
autentisitas
dan kebenaran Al-Qur’an.
|
||
5.
|
Menafsirkan
Al-Qur’an
yang tidak berdasar kaidah-kaidah tafsir.
|
||
6.
|
Mengingkari kedudukan Hadits
sebagai sumber ajaran Islam.
|
||
7.
|
Melecehkan/mendustakan
nabi dan rasul.
|
||
8.
|
Mengingkari Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sebagai nabi dan rasul terakhir.
|
||
9.
|
Mengurangi/menambah pokok-pokok
ibadah yang tidak ditetapkan syari’ah.
|
||
10.
|
Mengafirkan
sesama
Muslim hanya karena bukan kelompoknya.
|
||
Kesepuluh
kriteria aliran sesat di atas telah dianut dan diamalkan oleh
Syiah Imamiyah Itsna ‘Asyariyah, Madzhab Ahlul Bayt (versi
mereka), menurut hasil Musyawarah BASSRA (Badan Silaturahmi Ulama
Pesantren Madura) pada tanggal 3 Januari 2012 di Gedung Islamic Centre Pemekasan,
Madura.
Sesuai
kajian dan musyawarah BASSRA itu terungkap beberapa keyakinan Syi’ah
Imamiyah yang menyimpang dari prinsip-prinsip Islam, di antaranya
sebagai berikut.
|
|||
a.
|
Rukun
iman
dan rukun Islam Syi’ah berbeda dari nash-nash Al-Qur’an dan Hadits
yang mutawatir dan shahih karena menambahkan rukun al-Wilayah
(keimaman Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu dan keturunannya) sebagai bagian
rukun iman dan Islam.
|
||
b.
|
Meyakini
adanya
tahrif (interpolasi) Al-Qur’an yang artinya mengingkari
autentisitas dan kebenaran Al-Qur’an.
|
||
c.
|
Mengafirkan kelompok lain
yang di luar golongannya karena mereka berprinsip seorang yang tidak
mengimani rukun iman dan Islam yang paling pokok, yaitu
al-Wilayah, maka dianggap bukan Muslim, tetapi termasuk
fasik, bahkan kafir. Bukan hanya umat Islam umumnya, tetapi juga
mencakup para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam yang utama, Khalifah
Abu Bakr, Umar, dan Utsman -Radhiyallahu ‘anhum-, dan semua
yang sepakat membaiat mereka.
|
||
7)
|
Adapun
Kriteria Aliran Sesat menurut keputusan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU)
Aceh di Banda Aceh tahun 2009 menetapkan kriteria yang sama dengan keputusan
MUI Pusat dalam Rakernas 2006, dengan menambahkan tiga kriteria baru berikut.
|
||
1.
|
Meyakini atau mengikuti
aqidah yang tidak sesuai dengan I’tiqad Ahlus Sunnah wal
Jama’ah.
|
||
2.
|
Melakukan
pensyarahan
terhadap hadits tidak berdasarkan kaidah-kaidah ilmu Musthalah Hadits.
|
||
3.
|
Menghina dan atau melecehkan
para sahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. (Kumpulan
Undang-undang, Peraturan Menteri, Peraturan Daerah [Qanun], Peraturan
Gubernur, Fatwa MPU, Keputusan MPU dan Taushiyah MPU, hlm.462)
|
||
8)
|
Penegasan
tentang kesesatan Syi’ah difatwakan oleh MUI Jatim, No :
Kep-01/SKF-MUI/JTM/I/2012, tgl 21 Januari 2012, dengan jelas dan
terang sebagaimana berikut.
“Membaca…
Menimbang… Memerhatikan… Mengingat… Memutuskan :
|
||
1.
|
Mengukuhkan dan menetapkan
sejumlah keputusan MUI daerah yang menyertakan bahwa ajaran Syi’ah
(khususnya Imamiyah Itsna ‘Asyariyah, Madzhab Ahlul Bait, dan
semisalnya) serta ajaran-ajaran yang mempunyai kesamaan dengan paham Syi’ah
Imamiyah Itsna ‘Asyariyah adalah SESAT DAN MENYESATKAN.
|
||
2.
|
Menyatakan
bahwa penggunaan istilah Ahlul Bait untuk pengikut Syi’ah
adalah bentuk pembajakan kepada Ahlul Bait Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa Sallam.
|
||
3.
|
Merekomendasikan
:
|
||
a.
|
Kepada
Umat Islam diminta untuk waspada agar tidak mudah terpengaruh
dengan paham dan ajaran Syi’ah (khususnya Imamiyah Itsna ‘Asyariyah
atau yang menggunakan nama samaran Madzhab Ahlul Bait, dan
semisalnya).
|
||
b.
|
Kepada
Umat Islam diminta tidak mudah terprovokasi melakukan tindakan kekerasan
(anarkisme) karena hal tersebut tidak dibenarkan dalam Islam serta bertolak
belakang dengan upaya membina suasana kondusif untuk kelancaran dakwah Islam.
|
||
c.
|
Kepada
pemerintah, baik pusat maupun daerah, dimohon agar tidak
memberikan peluang penyebaran paham Syi’ah di Indonesia
karena penyebaran paham di Indonesia yang penduduknya berpaham Ahlus Sunnah
wa Jama’ah sangat berpeluang menimbulkan ketidakstabilan yang dapat mengancam
keutuhan NKRI.
|
||
d.
|
Kepada
pemerintah, baik pusat maupun daerah, dimohon agar melakukan
tindakan-tindakan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, antara
lain membekukan/melarang aktifitas Syi’ah beserta
lembaga-lembaga yang terkait.
|
||
e.
|
Kepada
pemerintah, baik pusat maupun daerah, dimohon agar bertindak tegas dalam
menangani konflik yang terjadi, tidak hanya pada kejadian saja, tetapi juga
faktir yang menjadi penyulut terjadinya konflik, karena penyulut konflik
adalah provokator yang telah melakukan teror dan kekerasan mental sehingga
harus ada penanganan secara komprehensif.
|
||
f.
|
Kepada
pemerintah, baik pusat maupun daerah, dimohon agar bertindak tegas
dalam menangani aliran menyimpang karena hal ini bukan termasuk
kebebasan beragama, tetapi penodaan agama.
|
||
g.
|
Kepada
Dewan Pimpinan MUI Pusat, dimohon agar mengukuhkan fatwa
tentang kesesatan Paham Syi’ah khususnya Imamiyah Itsna
‘Asyariyah atau yang menggunakan nama samaran Madzhab Ahlul Bait
dan semisalnya, serta ajaran yang mempunyai kesamaan dengan Paham Syi’ah
sebagai fatwa yang berlaku secara Nasional”. (Ditetapkan oleh Dewan Pimpinan
Majelis Ulama Indonesia [MUI] Propinsi Jawa Timur di Surabaya 27 Shafar 1433
H /21 Januari 2012 M, dan ditandatangani oleh Ketua Umum KH. ABDUSSHOMAD
BUCHORI dan Sekretaris Umum DRS. H. IMAM TABRONI,MM)
|
||
9)
|
Fatwa
MUI Jatim di atas adalah relevan dengan Fatwa MUI Pusat sehingga MUI Daerah
hanya berhak melaksanakannya. “Fatwa MUI Pusat maupun MUI Daerah
yang berdasarkan pada pedoman yang telah ditetapkan dalam surat keputusan ini
mempunyai kedudukan sederajat dan tidak saling membatalkan” (HF
MUI, hlm.8) ; “Terhadap masalah yang telah ada fatwa MUI Pusat, maka MUI
Daerah hanya berhak melaksanakannya.” (HF MUI, hlm.8)
|
||
10)
|
Oleh
karena aqidah dan ajaran Syi’ah bertentangan dengan aqidah
Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang diyakini kebenaran dan kemurniannya dari
Al-Qur’an dan Sunnah maka Syi’ah itu menyimpang (sesuai
penjelasan pasal “Penyimpangan Ajaran Syi’ah”), harus diwaspadai (Fatwa MUI
tahun 1984), ditolak dan tidak diakui (Fatwa MUI tentang Nikah Mut’ah tahun
1997). Umat Islam Indonesia harus memperteguh dan mengokohlan aqidah Ahlus
Sunnah wal Jama’ah dan tidak terpengaruh oleh paham-paham lain yang
bertentangan dengan aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam pengertian yang
luas diterima oleh kaum Muslimin di Indonesia dan dunia Islam pada umumnya.
Namun, dalam menyelesaikan perselisihan paham, baik yang fmenyangkut hukum
fiqih maupun aqidah yang dianggap menyimpang, tetap dikedepankan akhlakul
karimah dan cara-cara berdakwah yang santun dan tegas dengan hikmah, mau’izah
hasanah maupun jidal bil ahsan (berdebat dengan argumentasi yang paling
baik), serta sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia. Tidak boleh terjadi aksi kekerasan terhadap para pengikut paham
yang dinilai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menyimpang.
|
||
11)
|
Majelis
Ulama Indonesia (MUI) dalam sejarah perjalanannya selalu mengupayakan
terwujudnya persatuan Umat Islam Indonesia. Upaya menuju persatuan Umat Islam
(wahdatul ummah) adalah suatu hal yang terpuji untuk mewujudkan visi “inna
hadzihi ummatukum ummatan wahidah”. Persatuan sebagai upaya terselubung atau
nyata memengaruhi kaum Sunni agar berpindah menjadi Syi’ah, dan terus menerus
menerbitkan buku dan publikasi yang menyerang aqidah Sunni. Mengutip Grand
Syeikh Al-Azhar, Prof. Dr. Ahmad ath-Thayyib, menyatakan “Bahwa Al-Azhar
menolak keras penyebaran ajaran Syi’ah di negeri-negeri Ahlus Sunnah
karena hal itu akan merongrong persatuan dunia Islam, mengancam
stabilitas negara, memecah belah umat, dan membuka peluang kepada
zionisme untuk menimbulkan isu-isu perselisihan madzhab di
negara-negara Islam.” Upaya mengulurkan ide persatuan umat akan sia-sia jika
hal-hal tercela dan tidak patut secara aqidah, syari’ah, dan akhlaq Islam itu
masih terus berlaku dan disiarkan secara masif.
|
||
12)
|
Mejelis
Ulama Indonesia
(MUI) menuntut kepada pihak-pihak yang mewakili dakwah dan
kepentingan paham Syi’ah di Indonesia untuk tidak berambisi mensyi’ahkan
(syi’ahisasi) umat Islam di Indonesia, dan terutama menghentikan
setiap upaya menyebarkan paham-pahamnya yang menyimpang seperti
keyakinan tahrif Al-Qur’an dan kebiasaan mencela dan melaknat
para sahabat dan istri-istri Nabi (Ummahatul Mu’minin)
di tengah umat Muslim di Indonesia dalam bentuk tertulis, media
cetak, dan elektronik, karena hal itu sangat jelas memfitnah
ajaran-ajaran prinsip Islam dan memecah belah umat Islam di Indonesia.
Mengutip pernyataan Grand Syekh Al-Azhar, Prof. Dr. Ahmad
al-Thayyeb, “Kami juga sangat menyesalkan celaan dan pelecehan
terhadap para sahabat dan istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
Sallam yang terus-menerus kami dengar dari kalangan Syi’ah,
yang tentu saja hal itu sangat kami tolak. Perkara serius lainnya yang kami
tolak adalah upaya penyusupan penyebaran Syi’ah di tengah masyarakat
Muslim di negara-negara Sunni.” Secara khusus, buku Dialog
Sunnah-Syi’ah (terjemah kitab Al-Muraja’at) karya Syarafuddin al-Musawi dan
sejenisnya yang menyerang dan memutarbalikkan konsep dan ajaran Islam harus
dihentikan penerbitannya dan ditarik dari peredaran.
|
||
13)
|
Terkait
upaya taqrib (pendekatan) antara Sunni-Syiah. Majelis
Ulama Indonesia (MUI) memandang gerakan taqrib
selama ini dikendalikan Syi’ah untuk kepentingan mereka dengan mengorbankan
aqidah dan simbiol-simbol Ahlus Sunnah. Beberapa ulama besar
Sunni telah merasakan sendiri pengalaman taqrib dan pada akhirnya meragukan
efektivitasnya. Seperti yang dinyatakan oleh Grand Syekh Al-Azhar
Kairo, Prof. Dr. Ahmad al-Tayyeb, “Meski para ulama besar
Al-Azhar terdahulu pernah terlibat di dalam berbagai konferensi persatuan
Islam antara Sunni dan Syi’ah guna melenyapkan fitnah yang
memecah belah umat Islam, penting saya garis bawahi bahwa seluruh konferensi
itu nyatanya hanya ingin memenangkan kepentingan kalangan Syi’ah
(Imamiyah) dan mengorbankan kepentingan, aqidah, dan simbol-simbol
Ahlus Sunnah sehingga upaya taqrib itu kehilangan kepercayaan dan
kredibilitasnya seperti yang kami harapkan.”
Di
dalam fatwanya, Syekh Yusuf al-Qaradhawi, Ketua Persatuan Ulama Islam
Internasional dan anggota dewan tinggi ulama senior (Hai’ah Kibar Ulama’)
Al-Azhar menegaskan sikapnya terhadap gagasan taqrib, “Sesungguhnya sejak
saya ikut serta di dalam muktamar pendekatan Madzhab (taqrib),
saya telah menemukan beberapa poin penting yang membuat pendekatan
ini tidak akan terjadi jika poin-poin ini diabaikan atau tidak diberikan
hak-haknya. Semua ini telah saya jelaskan dengan sejelas-jelasnya pada saat
kunjungan saya ke Iran 10 tahun yang silam. Di sini saya hanya mengacu kepada
3 perkara. Pertama, kesepakatan untuk tidak mencerca para sahabat.
Karena kita tidak bisa dipertemukan atau didekatkan jika masih seperti itu.
Karena saya mengatakan : Semoga Allah meridhai mereka (para sahabat),
sedangkan engkau (Syi’ah) berkata : Semoga Allah
melaknat mereka. Sedangkan antara kata ridha dan laknat memiliki
perbedaan yang sangat besar. Kedua, dilarang menyebarkan sebuah madzhab di
sebuah daerah yang dikuasai oleh madzhab tertentu. Atau seperti yang
dikatakan oleh Syekh Muhammad Mahdi Syamsuddin dengan istilah pensyi’ahan
(ekspor madzhab Syi’ah ke negara lain). Ketiga, memperhatikan hak-hak
minoritas, terutama jika minoritas tersebut adalah madzhab yang sah. Inilah
sikap saya. Saya tidak akan menjadi penyeru kepada ‘peleburan
prinsip’ atau menjadi orang-orang yang berhamburan kepada usaha taqrib
(pendekatan Sunni-Syi’ah) tanpa syarat dan ketentuan.”
(Fatawa Mu’ashirah, jilid.4 hlm.230-290)
|
||
14.
|
Selain
menolak ekspor madzhab Syi’ah (Syi’ahisasi) ke negara-negara Sunni, Majelis
Ulama Indonesia juga menyoroti isi kesepakatan Risalah Amman
tahun 2005. Kaum Rafidhah berlindung di balik konsensus Deklarasi
Amman untuk legitimasi ajaran dan penyebaran Syi’ah.
Penting dicatat bahwa Risalah Amman bukanlah kesepakatan pembenaran atas
penyimpangan aqidah. “Risalah Amman bukanlah cek kosong, Risalah Amman
bukan pula kesepakatan pembenaran atas keyakinan menyimpang
Rafidhah, yaitu doktrin takfir dan caci-maki kepada para
pembesar sahabat dan istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam,
apalagi pembesar doktrin tahrif,” kata seorang pakar Syi’ah,
Prof. Mohammad Baharun, yang juga mengetuai Komisi Hukum dan
Perundang-undangan MUI. Solusi damai antara Syi’ah dan Sunni justru dengan
membuat jarak yang jelas dan tidak mengelabui umat. “Karena perbedaannya
bukan di ranah madzhab fiqih saja, melainkan keyakinan aqidah,”
ujarnya. Risalah Amman 2005 juga tidak mengikat seluruh ulama
yang hadir. Faktanya, adalah Syekh Dr. Yusuf al-Qaradhawi
(Ketua Persatuan Ulama Islam Internasional) yang ikut tercantum namanya sebagai
penanda tangan Risalah Amman, telah menerbitkan tiga (3)
fatwa tentang Syi’ah Imamiyah di dalam kitab “Fatawa
Mu’ashirah” jilid 4 yang terbit pada tahun 2009. Dalam fatwanya, beliau membongkar
aqidah Syi’ah Imamiyah dengan membentangkan pokok-pokok perbedaan
aqidah antara Ahlus Sunnah dan Syi’ah, hukum mencaci para sahabat
Nabi dan sikapnya tentang pendekatan (taqrib) Sunni-Syi’ah pasca-Muktamar
Doha-Qatar tanggal 20-22 Januari 2007.
|
||
15)
|
Majelis
Ulama Indonesia
(MUI) memandang akar masalah menjamurnya Syi’ah di Indonesia
adalah karena adanya perhatian yang besar dari pemerintah Iran melalui
jalur pendidikan, kebudayaan, dan keagamaan. Dalam konteks ini, MUI meminta
kepada Pemerintah RI untuk membatasi kerja sama bilateral itu hanya
dalam bidang politik dan ekonomi-perdagangan, dan tidak
merambah bidang pendidikan, kebudayaan, dan keagamaan.
Seperti dimaklumi bahwa perkembangan infiltrasi ajaran Syi’ah di Indonesia
masuk melalui ketiga jalur tersebut. Kebijakan politik itu perlu diambil
segera oleh Pemerintah RI Cq. Kementerian Luar Negeri RI, Kementerian Agama
RI, dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI untuk menghentikan laju
perkembangan gerakan Syi’ah di Indonesia yang dirasakan sangat meresahkan
umat Islam di Indonesia, berpotensi mengancam stabilitas negara, dan memecah
belah persatuan dan kesatuan bangsa.
|
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala membimbing kita semua
baik ulama, umara, dan umat Islam ke jalan lurus yang diridhai Allah Subhanahu
wa Ta’ala. Amiin.
[Panduan Majelis Ulama Indonesia : Mengenal
dan Mewaspadai Penyimpangan Syi’ah di Indonesia, hal.87-102, Penerbit Al-Qalam
Kelompok Gema Insani]
0 comments:
Post a Comment